DIALOG JUS JAMBU DAN JUS MANGGA

September 22, 2008

Agustus.

Apa bedanya jus jambu dengan jus mangga?

Ya beda dong. Satu dari jambu, yang satu dari mangga.

Ih, kalau itu sih saya tahu.

Terruss?

Apa bedanya makan jus jambu dengan makan jus mangga untuk buka puasa?

Ya beda. Jus itu diminum bukan dimakan.

Oiyaaaaa…

Maksudnya apa sih? Ya, terserah yang mau minum dong. Dia maunya yang mana.

Persis! Itu juga yang mestinya ada di kepalamu waktu kamu mau memilih satu pendekatan.

Maksudnyaaaaa???

(dia tidak menjawab malah memberikan ponselnya. Di layar ponselnya tertulis sebuah sms. “Pendekatan-pendekatan yang berbeda itu bukan untuk diperbandingkan untuk melihat mana yang lebih benar dan mana yang salah. Ya namanya juga pendekatan. Kalau dibandingkan ya sama saja seperti membandingkan sate ayam dan pizza dong..”)
Ngerti kan kamu sekarang?

(dia tidak menjawab. Bibirnya mengerucut.)

Yeee… Ngambek itu pilihan respon anak 4 tahun.

Aku gak ngambek. Aku lagi mikir.

Tapi mukamu…

Ya terserah mukaku maunya gimana, kalo lagi ngam.. eh, mikir.

September.

Aku tahu bedanya minum jus jambu dengan minum jus mangga untuk buka puasa

Masih juga nyari bedanya?

Lho, memangnya kenapa?

Kenapa sih gak coba cari kesamaan daripada cari-cari perbedaan?

Apanya yang sama?

Ya dua-duanya bisa enak untuk buka puasa.

Tapi kan cuma perlu satu

Biar cuma perlu satu, tapi kan gak mesti kehilangan yang satunya lagi

Waaaaaakkk ….. gak ngerti ☹

Konsentrasi sayang… dengar baik-baik

(dia tidak menjawab. Kepalanya manggut-manggut. Tak sabar)

Kalau memang dua-duanya bisa dipakai untuk buka puasa, dan memang sesuai dengan kondisimu, ya dua-duanya saja dipakai.

Tapi kan cuma butuh satu…

Kan bisa digabung. Dicampur. Di-mix. Dicari cara biar bisa dijadikan satu. Jadi daripada bingung milih minum jus jambu dan jus mangga, kamu punya jus baru: Jus jammang

Memang enak?

Ya makanya mencampurnya yang benar. Tidak boleh ada yang menonjol. Dicari HARMONI nya, supaya yang ada satu ramuan baru. Jus baru. Sama kayak pendekatanmu kalau lagi kasih fasilitasi. Tidak ada yang beda kalau dicari titik temunya. Kuncinya ya kayak kita begini, ngobrol. Dialog. Jadi kamu bisa dapat pendekatan baru bukan sekedar menggabungkan dua pendekatan.

Tadi katanya jus baru…

Mau jus, mau pendekatan… yang penting DIALOG

Tapi jus-nya..

Ya jus harlog

????

(Terima kasih untuk teman-teman widyaiswara Depdagri dan LGSP di pelatihan ‘Fasilitasi Efektif’ Jakarta 16-18 September yang sudah mengajarkan dua kata kunci itu.)

– Friend to friend, let’s have dialogue …
Like mama Gump told Forrest; sometimes we do things, well, don’t make sense at all.

(ibe, juice lover!)


Fasilitasi, Tidak Sekadar Asesoris

September 11, 2008

Sekarang ini banyak fasilitator dengan gaya fasilitasi yang unik, dinamis, dan menarik. Termasuk, penguasaan metode dan teknik yang canggih. Apakah, lantas pertemuan menjadi lebih baik. Heboh, iya. Lebih baik? belum tentu. Pengakuan para fasiltator di Sulawesi Selatan ketika PENALAHATI melakukan pelatihan fasilitator untuk partner LGSP kantor Sulsel, muncul kenyataan, banyak fasilitator yang sibuk dengan asesoris, tanpa memahami esensi pertemuan. Esensi baik terkait dengan konten, juga terkait dengan pemahaman utuh tentang fasilitasi.

Sesungguhnya, fasilitasi adalah sebuah seni. Seni memandu pertemuan. Seni memanusiakan Pertemuan. Seni menghidupkan pertemuan. Sama seperti seorang yang belajar seni, seorang fasilitator perlu mengetahui dan menguasai metode dan teknik. Akan tetapi, pada fase-fase selanjutnya, pada penciptaan karya, saat memfasilitasi misalnya, seorang fasilitator harus memadukan seluruh metode dan teknik yang dikuasainya dan mampu meniupkan ruh pada sebuah pertemuan. Ini sama saja seperti seorang penari. Ketika dia sudah pentas, maka metode dan teknik dilupakan dan ia akan menari dengan jiwa untuk menyentuh jiwa-jiwa penontonnya.

Seorang fasilitator memang tidak melulu mengurusi asesoris, game, energizer, ice breaking, metode, atau teknik. Tapi, lebih jauh lagi, dia harus mampu membuat pertemuan menjadi aliran “orkestra” yang memikat dengan tetap menumpu pada tiga hal: hasil, proses, dan relasi antar peserta. Dan, lebih jauh lagi, ia harus mampu untuk membuat kelompok mencapai tujuan (pertemuan) yang terbaik. Sehingga, ketika peserta ditanya apa yang didapatkannya pada pertemuan itu, jawabannya bukanlah hanya kehebohan dan antusiasme saja. Tapi, lebih pada pemaknaan yang mendalam. Ini memang tantangan bagi seorang fasilitator. (diq)


Team Builiding 2: Teluk Bintuni

September 10, 2008

“Inilah hidup dan tantangan yang perlu kita hadapi bersama
Membangun Teluk Bintuni
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita orang, siapa lagi?”


Teluk Bintuni, Kabupaten pemekaran Manokwari, Papua Barat, sedang menggeliat. Keberadaan Beyond Petroleum (BP/dahulu: British Petroleum) Tangguh yang kontroversial mengangangkat nama kabupaten yang baru berusia lima tahun ini. Di Teluk Bintunilah perusahaan tersebut akan menambang LNG. Akan banyak orang berdatangan, akan banyak uang beredar. Tapi, bagaimana dengan rakyat Teluk Bintuni yang berjumlah sekitar 34.000 jiwa itu menghadapi perubahan?

Sungguh memprihatinkan sebenarnya situasi sekarang ini. Sumberdaya alam yang melimpah dan uang banyak yang beredar tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat. Para lelaki lebih banyak bermalas-malasan, mabuk-mabukan, perempuan tak sehat dan jauh dari pendidikan, anak-anak tak terurus.

Adalah Alfons, bupati Teluk Bintuni, yang mempimpin gerakan Menuju Bintuni Baru. Juga, adalah Yayasan Frontiers for Health (F2H) yang merespon dengan menawarkan konsep Pos Kesehatan Anak Didik Tumbuh Kembang (Pos Kes Adituka), sebuah program investasi generasi mendatang. Ini program one stop services, dimana pusat pelayanan kesehatan seperti Posyandu punya fungsi lain, seperti tempat bermain dan pendidikan anak usia dini/PAUD (0-6 tahun).

Tim Kabupaten Bintuni (Dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas sosial, PKK, bidan, Bapeda) yang akan mengawal program ini pun berkumpul di Bandung pada 25-29 Agustus lalu. Mereka bersama membangun kekuatan tim dan mimpi ke depan. Hasilnya sungguh luar biasa, mereka bersepakat program Pos Kes Adituka sebagai salah satu motor gerakan perubahan sosial di Teluk Bintuni, dengan menempatkan para ibu dan perempuan sebagai agen-agen perubahan. Isinya, tidak melulu pendidikan dan kesehatan, tapi juga menjangkau wilayah ekonomi, sosial, dan kultural. Untuk itu, namanya pun diubah, menjadi Taman Pelayanan Adituka.

Penalahati ikut bersuka cita. Kehadiran kami sebagai fasilitator mampu meniupkan semangat kebersatuan Tim Bintuni dan memberi ruh pada pertemuan pada para pemimpin Teluk Bintuni di Bandung ini. Melihat semangat menggelora yang ditunjukkan para peserta, Penalahati percaya kehendak “Menuju Bintuni Baru” pasti mendapat dukungan alam semesta. (diq)


Team Building 1: Aceh

September 6, 2008

“Kita harus bongkar masalah sampai tuntas. Biar puas! Yang merasa tidak punya masalah silakan keluar ruangan saja!”

Kalimat tersebut beberapa kali terlontar oleh seorang peserta ketika PENALAHATI memfasilitasi team building para staf sebuah NGO internasional kantor regional Aceh. Cetusan yang dikeluarkan peserta, yang dominator ini, karuan saja mempengaruhi proses. Ada yang setuju, tapi kebanyakan diam saja, meski tampak tak setuju.

Tim fasilitator dari PENALAHATI coba menawarkan pendekatan yang berbeda. Bukan bertumpu pada masalah, melainkan pada kekuatan mereka sebagai kelompok. Bukan Deficit based thinking (DBT) tapi Asset Based Thinking (ABT). Memang tidak mudah menawarkan pendekatan ini, karena ada beberapa peserta yang ngotot untuk tetap membongkar masalah. Pun begitu, akhirnya peserta sepakat mengikuti proses yang ditawarkan fasilitator setelah melihat pada kenyataan: tahun lalu mereka membongkar masalah di kantor dengan DBT tapi tidak ada perubahan yang berarti. Malah, persoalan semakin meruncing dan banyak yang masih “terluka” karena “buka-bukaan” waktu itu.

Dan, ajaib memang, suasana murung dan penuh dengan kekesalan berubah menjadi positif dan penuh semangat ketika peserta mulai memasuki tahapan-tahapan ABT tersebut. Semangat baru muncul, begitu pula harapan yang besar bahwa mereka bisa menghadapi tantangan yang ada, serta solusi-solusi (lahir dari peserta sendiri) atas masalah yang ada. Resolusi ditandatangani bersama. Memang, tidak lantas menyelesaikan persoalan yang ada. Tapi, paling tidak memberi harapan baru dengan adanya kesepakatan untuk berfikir positif dan apresiatif menghadapi masa depan.

ABT memang ajaib, mampu mengubah atmosfir pertemuan dalam sekejap. Terima kasih untuk seorang kawan yang rela dini harinya terpakai untuk memberikan input tentang pendekatan ini, melalui telepon dari Bali. ABT memang hebat euy! (diq)


Sekolah Sayur dan Harapan Para Ibu

September 6, 2008

Lama tak ada kabar dari kami. Tapi, tak berarti Penalahati mati suri. Setelah bersibuk-sibuk ria dengan fasilitasi Perencanaan DTPS-KIBBLA, giliran Sahabat Kampung yang perlu mendapat perhatian. Ini terutama karena dukungan yang diberikan CIFOR kepada Situgede Entrepreneurship School untuk menyelenggarakan pelatihan pengelolaan ekonomi keluarga di kelurahan Situgede. Pesertanya adalah para ibu yang sebenarnya selama ini menjadi tulang punggung pengelolaan ekonomi keluarga desa.
Tahap awal dari pelatihan ini, para ibu diajarkan berbagai tips dan triks memanfaatkan pekarangan rumah untuk bercocok tanam sayuran dan tumbuhan dapur lainnya. Seminggu dua kali, sejak acara pembukaan Sekolah Sayur pada 27 Juli 2008, 21 ibu dari empat RW berkumpul untuk berdiskusi, belajar dan berlatih seputar pengolahan media tanam, pembuatan pupuk dari sampah dapur, penyemaian, perawatan tanaman, dan seterusnya. Sahabat Kampung juga menemani para ibu untuk bertandang ke nursery sayur organik yang dikelola secara profesional. Hasilnya, semangat yang bertumpah ruah. Bahwa, para ibu punya kekuatan alternatif untuk menghadapi krisis yang terus saja melibat mereka.