Mandiri Energi dan Pangan

“Indonesia bukannya kekurangan pangan dan energi.
Tapi, tak mampu mengelola sumberdaya yang ada.”
Dr. Pudjo Semedi, Dosen Antropologi UGM

Menjelang kepulangan ke Bogor usai memfasilitasi pertemuan Rembug Nasional ASKARLO, tim Penalahati (Doni, Dicky, Aan, Ari) diundang Pudjo main ke rumahnya di bilangan Kaliurang, Yogyakarta. Ini tentu saja peluang yang sangat berharga. Pudjo selama ini kami kenal sebagai guru yang kerap menyuntikkan semangat baru lewat informasi dan pengetahuan yang disampaikannya. Hampir lima tahun kami tidak bertemu, jelas tak hendak disia-siakan.

Benar saja, begitu usai sesi beramah tamah dan saling cerita masa lalu, Pudjo mengemukakan kegelisahannya atas situasi krisis pangan dan energi yang dihadapi bangsa ini. Seperti yang dikutip di awal tulisan, Pudjo melihat kita gagal mengelola sumberdaya pangan dan energi yang ada di sekitar kita. Padahal, ada banyak yang bisa kita lakukan untuk menangkal krisis tersebut.

Tidak sekadar gelisah. Bersama mahasiswa Antropologi UGM, ayah dua anak ini berniat untuk membangun 10 sumber energi biogas di dua desa di Kecamatan Petungkriono, Pekalongan. “Di sana banyak sapi. Tapi, teletongnya terbuang percuma. Itu bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi,” katanya bersemangat. Paling tidak, keberadaan biogas dapat bermanfaat untuk mengurangi tekanan penduduk atas hutan — untuk kayu bakar — hingga 40%. “Memang sulit kalau sampai 100% karena penduduk memanfaatkan kayu bakar untuk berdiang. Petungkriono dingin.” Biogas akan membantu penduduk yang sekarang ini kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak yang hilang dari pasaran atau harganya melambung tinggi.

Kami kemudian berdiskusi. Cerita tentang perubahan yang terjadi di Pengalengan, Jawa Barat, kami sharing. Kami sepakat, desa harus diselamatkan, harus dipikirkan, karena itu adalah sumber nilai-nilai kehidupan manusia Nusantara selama berabad-abad. Membiarkan desa hancur sama artinya dengan menghancurkan sumber kehidupan kita, akan membuat hidup kita kering tak bermakna.

Timur Angin
Satu cara untuk keluar dari krisis ini adalah sikap mengurangi ketergantungan pada pasar. Dengan biogas, masyarakat dapat mengelola energinya untuk kepentingan sendiri. Bila berlebih, bukan tidak mungkin menjual surplus ke desa tetangga atau PLN. Pun begitu, upaya untuk mendorong perubahan desa harus dilakukan secara sistemik. Tidak berhenti pada satu dua kegiatan sporadis. Energi dan pangan adalah kuncinya. Dengan biogas, masyarakat mendapatkan manfaat turunan: pupuk organik, media pelihara cacing, pangan ikan, pangan ternak, dll. Bahkan, bisa menghasilkan listrik dengan pengubahan teknologi sederhana. Jika itu terjadi, maka satu desa dapat mandiri energi dan pangan.

Tren green century membuat bahan pangan tersedot menjadi bahan baku bio-fuel atau bio-energy yang diproduksi dan dipasarkan secara besar-besaran. Ketergantungan pada pasar membuat banyak masyarakat yang terseok-seok memenuhi harga yang diminta. Memanfaatkan pekarangan dan kebun dengan menanam tanaman-tanaman pangan adalah kuncinya.Paling tidak, kita tak perlu beli empon-empon, sayur mayur, buah-buahan, obat-obatan, vitamin, dll. Pangan alternatif kita siapkan. Dari biji-bijian sampai umbi-umbian. Jangan biarkan sejengkal tanah pun kosong. Memang tidak semuanya bisa lepas, tapi kita sudah mengurangi pengeluaran kita.
Dan, Pudjo sudah melakukannya. Ia memperlihatkan tanaman markisa, buah-buahan, sayuran, obat-obatan yang ditanam di pekarangan rumahnya. “Kami sekeluarga sekarang tidak perlu lagi beli vitamin C,” ujarnya sambil mengantarkan kami ke mobil yang akan membawa kami pulang ke Bogor.

Sayang memang, kami tak punya cukup waktu untuk berbincang-bincang. Tapi, kami sepakat untuk bergabung dengan gerakan mandiri energi dan pangan yang sedang digagas Pudjo dan teman-teman mahasiswa antropologi UGM. Untuk tahap awal, dalam hitungan kasar, 10 terminal biogas yang akan dibangun itu membutuhkan biaya Rp50juta. Satu terminal, Rp5 juta. Itu sudah tidak memperhitungkan tenaga kerja karena menjadi kontribusi masyarakat. Kami berpikir, hitungan ini tidak akan menjadi angka yang terlampau mahal jika banyak orang mau berkontribusi. Jika banyak orang bersedia untuk menjadi sahabat-sahabat kampung dan menyelamatkan sumber nilai-nilai kehidupan kita itu.

Sepanjang perjalanan ke Bogor kami banyak berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing. Satu hal yang pasti, Mas Pudjo berhasil membagi kegelisahannya pada kami untuk terus mencari siapa saja yang bersedia bergabung membuat semacam asosiasi para sahabat kampung, yang bekerja dengan kemampuan terbaiknya masing-masing untuk menyelamatkan kampung-kampung di negeri ini yang semakin hari semakin terkikis. Siapa bersedia menjadi sahabat kampung? Andakah orangnya?
(diq)

Leave a comment